Petualangan bersama Haotogel Aman yang berubah menjadi kisah tak terlupakan
Pagi itu, langit Bali biru tak terhingga. Aku baru saja mendarat, dan seorang pemandu dengan papan bertuliskan Haotogel Aman menjemputku. Mereka bilang, ini bukan sekadar liburan—ini adalah perjalanan menemukan hal yang hilang.
Di Tirta Empul, aku melihatnya—seorang wanita Jepang dengan kimono lembut. Ia tampak menyatu dengan udara pagi. "Nama saya Aiko," katanya. Senyumnya... seperti damai yang belum pernah kutemui.
"Katanya, kalau seseorang sedang hilang arah, Bali bisa memberinya cahaya."
Kami menyusuri pantai bersama. Ombak seperti bernyanyi, dan dunia seakan melambat. Aku tidak ingat kapan terakhir kali bisa tertawa lepas seperti ini. Tapi yang paling mengejutkan—Aiko tidak datang hanya untuk berlibur. Ia mencari jejak ayahnya... yang katanya pernah tinggal di Bali.
Hujan turun deras di air terjun. Kami berteduh di warung kecil, dan di sanalah Aiko mulai terbuka. "Aku tidak tahu apakah aku datang sebagai turis... atau sebagai anak yang ingin tahu kenapa ia ditinggalkan." Aku hanya diam, tapi perasaan dalam dadaku mulai tumbuh—bukan hanya rasa empati, tapi sesuatu yang lebih dalam.
Dalam satu minggu itu, kami menjelajahi Ubud, Tanah Lot, Nusa Penida, dan bahkan menyusuri malam di Canggu sambil mencicipi sate lilit. Setiap tempat membawa kami lebih dekat. Aiko mulai tertawa lebih sering. Aku mulai menunggu senyumnya. Kadang kami hanya diam duduk bersama, dan itu sudah cukup.
"Setiap langkah kecil bersamamu terasa seperti bab baru dalam hidupku."
Pagi hari terakhir sebelum ia pulang ke Jepang, kami duduk di bukit Campuhan. Matahari terbit perlahan, menyinari jalan setapak di depan kami. "Aku akan kembali ke Jepang... tapi sebagian hatiku akan tinggal di sini," bisiknya. Aku ingin berkata sesuatu, tapi yang keluar hanya genggaman tangan.
Di bandara, Aiko menoleh sebentar sebelum masuk ke gerbang keberangkatan. Tidak ada pelukan, tidak ada ciuman, hanya tatapan yang terlalu dalam untuk diucapkan dalam kata-kata. Aku tahu, kami tidak berjanji. Tapi aku juga tahu, jika semesta memberi jalan, langkah-langkah itu akan bertemu kembali.
Satu bulan kemudian, aku menerima surat dari Aiko. Bukan email, bukan pesan—tapi surat kertas dengan tulisan tangannya yang halus. Ia menceritakan bagaimana ia mulai membuka hati pada ibunya tentang ayahnya, dan bagaimana Bali telah menyembuhkan sebagian dari lukanya. Di akhir suratnya ia menulis:
"Jika kamu percaya pada sesuatu yang lebih dari kebetulan, aku ingin kita bertemu lagi. Bukan sebagai dua orang asing. Tapi sebagai dua orang yang saling menunggu."
Tiga bulan setelah pertemuan kami, kami sepakat untuk kembali ke Bali. Kali ini bukan sebagai turis yang mengikuti itinerary, tapi sebagai dua jiwa yang mencari ruang untuk bersama. Kami menyewa rumah kecil di pinggiran Ubud. Setiap pagi memasak bersama, setiap malam duduk membaca dengan teh hangat dan suara jangkrik.
Hubungan kami tumbuh perlahan, seperti pohon kecil yang akarnya dalam karena sabar. Tidak ada drama, hanya kejujuran dan banyak tertawa. Kami mulai menyusun mimpi bersama—tentang membuka kafe kecil di Bali, tentang mengundang ibunya untuk datang melihat tempat yang mengubah hidup anaknya.
Pada bulan keenam kami bersama, kami memutuskan untuk menikah. Bukan karena terburu-buru, tetapi karena kami tahu: kami telah menemukan rumah dalam diri satu sama lain. Pernikahan kecil kami digelar di tepi pantai Amed, hanya ditemani pasir putih, keluarga terdekat, dan suara ombak sebagai saksi.
"Tak perlu janji besar, cukup hadir setiap pagi bersamamu sudah menjadi berkah terbesar dalam hidupku."
Setelah menikah, kami pindah ke rumah mungil di tengah sawah. Kami mulai menanam sayur sendiri—kangkung, tomat, dan cabai. Kadang kami gagal panen karena hujan tak menentu, tapi kami tetap tertawa. Setiap sore, kami menyiram tanaman bersama. Tangan Aiko kini lebih tangguh dari sebelumnya, tapi sentuhannya padaku tetap lembut seperti awal bertemu.
Suatu malam di bawah purnama, Aiko memeluk perutnya yang perlahan membesar. "Dia sedang menendang," katanya sambil tertawa kecil. Air mataku jatuh, bukan karena sedih, tapi karena bahagia yang tak bisa kutahan. Kami beri nama anak kami Keisya Ayu—gabungan budaya kami. Ia lahir di rumah sederhana kami, disambut doa-doa dari orang-orang yang pernah menjadi bagian kisah kami di Bali.
"Kami datang ke Bali sebagai dua orang yang hilang. Kini, kami tinggal sebagai tiga hati yang pulang."
👨👩👧 Cerita ini belum berakhir... karena cinta sejati tak pernah mengenal kata akhir.
Klik untuk membaca bab tentang anak mereka yang tumbuh di antara alam dan budaya Bali...
Copyright © Haotogel Aman